
Yang menarik — lebih tepatnya mengherankan — mengapa di negeri yang melegalkan industri film
porno justru mengharamkan ‘penampakan’ perkakas paling pribadi pria maupun wanita?
Yang menarik — lebih tepatnya mengherankan:
Mengapa di negeri yang melegalkan industri film porno justru mengharamkan ‘penampakan’ perkakas paling pribadi pria maupun wanita, bahkan dalam ujud sebuah benda mati macam perahu sebagai penggambaran semata?
Salah satu toko di Jepang yang menjual film esek-esek. |
Dari sekian ribu judul baru itu terdapat sekitar 6000 bintang film wanita, dan cuma 70-an pemeran pria. Besarnya animo menjadi bintang porno merebak di kalangan siswi SMA dan mahasiswi.

Para remaja tersebut menerjuni bidang ini untuk memburu penghasilan lantaran uang saku yang diberikan ortu jauh dari cukup, dampak perekonomian Jepang yang belum stabil.
Kerja sambilan di JAV (Japan Adult Video) tersebut menuai upah yang cukup besar setiap bulan, yakni 250 ribu yen (setara Rp 27,5 juta).

Norma yang digenggam erat-erat serta ada cap “memerkosa adalah perbuatan gila” menjadikan Jepang tetap keramat.

Itu sebabnya tak ada film dewasa di Jepang luput menyensor bagian-bagian vital. Bila kita temukan film porno Jepang tanpa sensor, maka bisa dipastikan film-film itu dikuasai Yakuza.
Di Indonesia, masih butuh waktu yang sangat panjang untuk permak moral dan membangunkan kembali norma-norma positif produk leluhur yang kini tengah tidur dibius oleh gempuran teknologi gadget dan cyber yang tak terkendali, sehingga kelak tak ada lagi dalih “gara-gara nonton film porno” bila terungkap kasus pemerkosaan oleh kalangan remaja dan oleh bapak-bapak yang mencabuli anak kandungnya.
Apa yang dilakukan oleh seniman Megumi Igarashi tadi mungkin hanya akan kena sanksi moral bila terjadi di sebagian wilayah di muka bumi ini. Tapi, di Jepang tidak.
Semoga Bermanfaat...
wassalam… 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar